Rumah Dinas TNI = Rumah Warisan ?
A. Pendahuluan
Belakangan ini marak diberitakan di media massa tentang
kericuhan saat pengosongan rumah dinas eks-anggota TNI/purnawirawan. Terakhir
kericuhan mewarnai pengosongan rumah dinas TNI Angkatan Darat di Jalan Otista
III, Jakarta Timur, Selasa (22/12/09). Tidak hanya terjadi di Ibukota saja, di
daerah-daerah pengosongan rumah dinas TNI juga selalu diwarnai kericuhan.
Begitupula terjadi di Tasikmalaya terjadi eksekusi penggusuran yang berlangsung
panas dan panjang. Sebelumnya (27/10/10) di Tasikmalaya
eksekusi berlangsung panas, personel Kodim 0612 Tasikmalaya yang memasang papan
di depan rumah dinas guna meminta penghuni meninggalkan rumah mendapat
perlawanan. Papan yang telah terpasang dicabut. Hal tersebut menimbulkan
terjadinya perang adu mulut antar sesama anggota TNI AD. Peran media sebagai sumber informasi bagi
masyarakat terutama televisi cukup membentuk opini publik mengenai permasalahan
eksekusi tersebut. Karena disertakan visual dramatis berupa tangisan para
penghuninya, pengosongan yang tujuan utama sebenarnya adalah untuk menyediakan
tempat bagi anggota TNI yang masih aktif, seolah-olah menjadi suatu pelanggaran
HAM. Begitulah adanya efek dari media, tidak semuanya pemberian informasinya
secara berimbang yaitu hanya melihat dari sudut sempit garis pandangannya.
B.
Permasalahan
Sejak era Presiden SBY, penertiban aset-aset negara mulai
digencarkan, sesuai dengan misinya untuk memberantas korupsi dan transparansi
keuangan negara. Sebagai langkah awal, pada tahun 2007 Presiden menerbitkan
Keppres No.17 tentang Penertiban Barang Milik Negara (BMN). Aset negara yang
selama ini tidak jelas juntrungnya mulai diinventarisasi dan dinilai,
diwujudkan oleh Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Inderawati dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 120 tahun 2007 tentang Penatausahaan
Barang Milik Negara. Aplikasi dari PMK tersebut adalah dengan dilaksanakannya
penertiban berupa inventarisasi dan penilaian aset negara yang berada di
wilayah hukum Republik Indonesai, baik aset yang berada di wilayah NKRI maupun
wilayah kedaulatan Indonesia di luar negeri yaitu berupa kedutaan dan
konjen-konjen di seluruh dunia. Tak pelak, aset TNI pun termasuk di dalamnya.
Sebagai pelaksana tugasnya adalah Ditjen Kekayaan Negara, Departemen Keuangan
RI
Adanya hal yang sangat
bertolak belakang, yaitu penyediaan perumahan bagi anggota TNI yang masih aktif
dirasa masih kurang mencukupi. Perumahan yang ada selama ini banyak digunakan
untuk para purnawirawan yang notabene merupakan anggota tidak aktif. Alhasil,
anggota TNI yang masih aktif tidak banyak mendapat jatah untuk tempat tinggal.
Sebagai bentuk reaksi terhadap kondisi tersebut, pihak tertinggi dalam struktur
birokrasi TNI membuat keputusan pengosongan terhadap perumahan yang dihuni oleh
para purnawirawan. Pengosongan merupakan kata halus dari penggusuran, yang
tujuan utamanya ialah untuk menyediakan tempat bagi anggota TNI yang
masih aktif.
Apabila
dilihat dari segi kemanusiaannya adalah berkaitan tentang rasa kemanusiaan dan
HAM yang menyudutkan pihak terkait yang melakukan penggusuran. Namun apabila
dilihat dari sudut pandang aspek hukum
adalah berkaitan tentang pasal pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 tahun 1994
tentang Rumah Negara dijelaskan pengertian rumah negara adalah bangunan
yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau
Pegawai Negeri. Mengenai siapa yang bertanggung jawab diterangkan dalam ayat 4 yaitu
Menteri Pekerjaan Umum. Semua itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 tahun 1994
tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP No.31
tahun 2005 untuk menyempurnakannya.
Ayat tersebut juga sekaligus menjelaskan bagaimana keabsahan
pengosongan rumah dinas yang penghuninya bukan anggota TNI aktif lagi. Isi ayat
itu berbunyi :
(3) Rumah
Negara Golongan II yang tidak dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara
Golongan III adalah :
a. Rumah
Negara Golongan II yang berfungsi sebagai mess/asrama sipil dan ABRI.
b. Rumah
Negara Golongan II yang mempunyai fungsi secara langsung melayani atau terletak
dalam lingkungan suatu kantor, rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi,
pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan lab/balai penelitian.
Artinya
secara eksplisit status kepemilikan rumah dinas tersebut tidak boleh dialihkan
ke penghuninya karena termasuk sebagai mess ABRI (sekarang TNI).
Dalam PP tersebut dijelaskan pengertian Rumah Negara Golongan
I, II, dan III yaitu terdapat pada Pasal 1 ayat (5), (6) dan (7). Secara garis
besar disimpulkan begini, rumah negara golongan I contohnya yaitu rumah dinas
menteri, ketua komisi, ketua DPR, ketua MPR, dan pejabat-pejabat negara
lainnya. Golongan II contohnya rumah dinas kepala kantor operasional di setiap
daerah, rumah dinas kepala seksi, rumah dinas pelaksana, mess/asrama, dan
sejenisnya. Sedangkan rumah negara golongan III yaitu yang tidak termasuk
golongan I dan II yang dapat dijual kepada penghuninya. Misalnya rumah dinas
yang terkena tata ruang, terkena bencana, tidak layak huni, untuk ditukar
guling, dan dialihkan haknya kepada penghuninya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal
14.
Namun ada juga beberapa kasus yang dijumpai seperti dari para
korban penggusuran memaparkan bahwa mereka telah mempunyai bukti kepemilikan
berupa berita acara hibah dari pemilik pertama tanah sebelum menjadi tanah
Negara. Berdasarkan kasus tersebut seharusnya pihak penggusur dalam hal ini TNI
AD melakukan klarifikasi status tanah ke pihak terkait (Badan Pertanahan Nasional).
Akan tetapi apabila ditemui kejanggalan keabsahan bukti kepemilikan atau tidak
sanggup membuktikan bahwa dokumen tersebut adalah legal, maka hal yang pantas
adalah korban penggusuran tersebut meninggalkan rumah dinas yang dihuninya demi
kepentingan hukum dan tentunya kepentingan Negara.
Kasus lainnya adalah mengenai penolakan eksekusi tersebut dikarenakan
alasan bahwa mereka telah lama menghuni rumah dinas itu dan tentunya telah
mengeluarkan pengorbanan biaya untuk merawat dan memelihara rumah dinas dengan
biaya sendiri. Namun jika itu alasannya maka kewajiban setiap penghuni rumah
negara seperti tercantum dalam PP tadi pada pasal 10 yang bunyinya :
(1) Penghuni
Rumah Negara wajib :
a. membayar
sewa rumah;
b.
memelihara rumah dan memanfaatkan rumah sesuai dengan fungsinya
(2) Penghuni
Rumah Negara dilarang :
a.
menyerahkan sebagian atau seluruh rumah kepada pihak lain;
b. mengubah
sebagian atau seluruh bentuk rumah;
c.
menggunakan rumah tidak sesuai dengan fungsinya.
Berdasarkan
fenomena terjadinya kasus penggusuran Rumah Dinas TNI AD tersebut dapat
disimpulkan bahwa “Rumah Negara” bukan lah “Rumah Warisan” yang bisa diturunkan secara turun menurun
terhadap anak cucunya.
C.
Solusi
Langkah nyata yang harus ditempuh ialah adanya
suatu relokasi besar-besaran bagi semua anggota purnawirawan yang tergusur ke
suatu tempat yang cukup mewadahi keadaannya dan perlu diingat bahwa sifatnya
hanya sementara dalam jangka waktu terbatas. Relokasi ketempat hunian baru
tersebut dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan bagi mereka selama dalam usaha
mencari tempat hunian baru yang bersifat tetap. Penyediaan hunian sementara
tersebut harus ditanggung oleh pihak pemerintah, dalam hal ini tentunya TNI AD,
yang bisa memanfaatkan alokasi biaya dari anggaran dasar yang tertuang dalam APBN.
Sedangkan perumahan yang sudah dikosongkan tadi dapat direnovasi sesuai
kebutuhan bagi anggota TNI yang masih aktif untuk segera ditempati.
D.
Kesimpulan
1.
Pengosongan rumah
dinas tujuan utama sebenarnya adalah untuk menyediakan tempat bagi anggota TNI
yang masih aktif, bukan untuk anggota TNI yang sudah purna tugas.
2.
Rumah dinas merupakan
milik Negara, bukan milik perorangan, yang bisa diturunkan secara turun menurun
terhadap anak cucunya.
3.
Mess/asrama sipil dan
ABRI termasuk Rumah Negara Golongan II.
E.
Pustaka
www.antaranews.com diakses tanggal 20 Mei
2010
www.kompasiana.com diakses tanggal 20 Mei 2010
www.tempointeaktif.com diakses
tanggal 20 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar